“Yang dimaksud dengan istilah awam di sini ialah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam Gereja. Jadi kaum beriman kristiani yang berkat baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap umat kristiani dalam Gereja dan di dunia” (Konstitusi Dogmatis: Lumen Gentium, no. 31).
Kerasulan Awam
Konsili Vatikan II (1962-1965) dalam Dekret tentang Kerasulan Awam Apostolicam Actuositatem (AA) tidak berbicara tentang seorang pribadi “rasul awam.” Akan tetapi lebih tentang kegiatan merasul dari Umat Allah. Sebab “kerasulan awam, yang bertumpu pada panggilan kristiani mereka sendiri, tak pernah dapat tidak ada dalam Gereja” (AA, 1). Dua kata yang menonjol dalam AA adalah “kerasulan” dan “merasul” dan bukan “rasul”. Kerasulan adalah sifat (martabat dan lain sebagainya) yang berkenaan dengan “rasul” (lih. KUBI). Kerasulan dimaksudkan untuk mewartakan Injil dan menyucikan umat manusia. Kaum Awam, dan semua saja: Christifidelis Laici (kaum beriman kristiani) dalam keadaan mana pun juga dipanggil dan wajib menjalankan kerasulan. Semua orang kristiani memperoleh pembinaan untuk merasul (AA, No.28). Pembinaan kaum awam untuk kerasulan juga mendapat cirinya yang istimewa dari sifat sekuler (keduniaan) serta corak hidup yang khas bagi status awam (AA, No. 29).
Kerasulan internal dan eksternal gerejawi
Kaum awam merasul secara internal dalam Gereja dan secara eksternal dalam tata dunia. “Tugas langsung menghasilkan tatanan adil dalam masyarakat, merupakan tugas kaum beriman awam. Sebagai warganegara, mereka dipanggil untuk berpartisipasi secara pribadi dalam hidup publik. Maka mereka tak dapat lepas tangan, mereka harus melibatkan diri dalam banyak dan pelbagai prakarsa dibidang ekonomi, sosial, legislatif, eksekutif, dan kultural, yang mengabdi kepentingan umum secara organis dan institusional” (Deus Caritas Est. No. 29).
Dalam lingkup internal Gerejawi, kaum awam berperan aktif dalam kehidupan dan kegiatan Gereja. “Di dalam jemaat-jemaat gerejawi kegiatan mereka sedemikian perlu, sehingga tanpa kegiatan itu kerasulan para gembala sendiri kebanyakan tidak dapat memperbuahkan hasil yang sepenuhnya” (AA 10). Secara konkret, kaum awam menjalankan karya kerasulan di paroki, karena bagaimanapun pula “Paroki ialah komunitas kaum beriman kristiani tertentu yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular yang reksa pastoralnya di bawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada Pastor Paroki sebagai gembalanya sendiri” (KHK 515). Namun demikian, paroki berkembang menjadi luas dengan jumlah umat yang banyak. Pastor Paroki cukup sulit menangani karya pastoral secara efektif. Hasilnya kurang maksimal dan optimal. Untuk mengatasi masalah ini, maka dibentuklah lingkungan-lingkungan dalam sebuah Paroki. Dengan demikian kaum awam akan lebih berpartisipasi dalam karya kerasulan.
Sejarah singkat Komunitas Basis
Sejarah Gereja Katolik Indonesia mencatat cikal bakal lingkungan sebagai komunitas basis (KBG) yang salah satunya bermula dari pertemuan pastoral di Yogyakarta 22 September 1934. Pertemuan yang diprakarsai oleh Albertus Soegijapranata, SJ dan A. Djajasepoetra, SJ, menyepakati pembentukan komunitas-komunitas kecil umat setempat yang diketuai seorang umat yang bersemangat dan sungguh memahami situasi sosial setempat. Tujuan pembentukan komunitas-komunitas kecil ini adalah untuk memenuhi kebutuhan rohani umat setempat dan menghadirkan Gereja di tengah masyarakat. Komunitas kecil ini disebut Kring atau lingkungan. Dewasa ini lingkungan dipahami sebagai persekutuan umat Allah yang dibentuk dari sejumlah keluarga dan warga yang tinggal berdekatan secara teritorial. Lingkungan dipimpin oleh ketua lingkungan. Jumlah anggota sebaiknya terdiri atas 20 sampai 40 kepala keluarga. Sejumlah lingkungan yang berdekatan berkoordinasi sebagai suatu wilayah. Namun harus tetap diingat bahwa kegiatan kerasulan dan pastoral dilaksanakan secara konkret di lingkungan bukan di wilayah. Ketua lingkungan membentuk pengurus sesuai dengan kebutuhan tetapi sebaiknya terdiri atas ketua, sekretaris, dan beberapa koordinator pelayanan. Maka tak perlu selalu membentuk pelbagai seksi seperti pada Dewan Paroki Pleno. Penentuan koordinator pelayanan dilaksanakan melalui musyawarah atau pertemuan lingkungan. Demikian juga anggota lingkungan sendiri menetapkan prioritas pelayanan kerasulan dan pastoral.
Cuplikan Sejarah
Menurut catatan Sejarah Gereja Gereja Katolik di Indonesia yang diterbitkan Konferensi Waligereja Indonesia (selanjutnya disingkat: Sejarah), kerasulan awam sudah lama berkembang. Misionaris pertama Gereja Katolik di Indonesia adalah seorang awam. Ia adalah seorang saudagar Portugis yang bernama Gonsalo Vesolo (Sejarah 2:59). “Stasi tetap yang pertama di antara orang yang bukan Belanda di Pulau Bangka didirikan berkat seorang tabib bernama Tsen On Nie” (Sejarah 2:98). Demikian juga di Moro, Halmahera, titik pangkal Gereja Katolik di sana adalah seorang awam. Di Nusa Bunga (Flores) (2) dan Timor, kaum awam memainkan peranan yang sangat penting dalam melanjutkan penyebaran Injil (Sejarah 2:97,103). Daerah itu pada awalnya dilayani misionaris Portugis dari Dili (Timur Leste) yang datang berkunjung “enam tahun sekali” (Sejarah 2:103). Kegiatan hidup menggereja memang tergantung pada tekad umat setempat untuk tetap tinggal sebagai orang beriman kristiani yang berkembang dan berbuah (cf. Sejarah 2: 150). Hal yang serupa juga terjadi di Sulawesi Utara (Manado, Woloan, Tomohon), salah satu basis Gereja Katolik di masa lalu. “Semangat mereka untuk sebagian besar tergantung pada guru-guru yang merangkap katekis” (Sejarah 2:172). Sama halnya dengan keadaan Gereja Katolik di daerah Sumatera Utara. Dalam tahap pertama perkembangan Gereja Katolik di sana (1934-1941), kaum awam memainkan peranan yang amat penting. Dari kepemimpinan rasul-rasul awam, yang juga biasa disebut: porhanger dan sintua, Gereja Katolik berkembang begitu pesat di daerah itu. Dalam sejarah perkembangan Gereja Katolik di daerah ini, sangat ditentukan oleh “peranan para guru sekolah desa, yang dibina secara kilat di Balige” (Sejarah 3:30). Di Pulau Jawa, peranan awam dalam memajukan Gereja memang sudah direncanakan. Misionaris besar di Pulau Jawa, Fransiscus Georgius Josephus van Lith (17 Mei 1863-9 Januari 1926) (3) dalam sebuah memorandumnya mengungkapkan niatnya, bahwa “harus digembleng suatu elite Jawa sendiri: guru, pamong praja, imam, dokter, yang akan menjadi ragi dan rasul pelopor di seluruh Jawa” (Sejarah 2: 853). Niat Pater Van Lith terwujud dan direstui Tuhan dengan berdirinya R.K. Kweekschool Muntilan. Sejarah mencatat bahwa sekolah ini kemudian menghasilkan rasul-rasul awam yang bermutu tinggi, yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Sebenarnya ada juga sekolah serupa di Woloan (Sulawesi Utara), rintisan Pater A. Van Velsen, yang hasil didikannya “mempunyai peranan penting dalam mendidik guru-guru bagi misi di Flores” (Sejarah 2: 175).
Peranan awam dalam perkembangan Gereja Katolik di tanah air begitu besar. Sekarang pun di paroki misalnya, kaum awam dapat bekerjasama dengan pastor paroki menjadi Pengurus Dewan Paroki (DPH), pengurus pelbagai Seksi, dan Bagian, menjadi anggota panitia, Pengurus Gereja dan Dana Papa, menjadi prodiakon, dan lain-lain. Dalam kerjasama dengan pastor paroki, hendaknya kaum awam ingat, “Dewan pastoral merupakan organ konsultatif yang memberi peluang kepada kaum beriman untuk mengungkapkan tanggung jawab baptisnya dengan mendampingi pastor paroki yang mengetuai Dewan, dengan memberi nasehat dalam hal pastoral” (Congregation for the Clergy : Instruction The Priest, Pastor, and Leader of the Parish Community, Rome, 4 August 2002, no. 7). Jelaslah, pengurus Seksi-seksi dan pengurus Lingkungan hendaknya selalu berkonsultasi dengan pastor paroki ketika memprakarsai suatu kegiatan tertentu. Menjadi pengurus Lingkungan misalnya, merupakan pelayanan dan perwujudan iman, “Keterlibatan murah hati kaum awam di bidang ibadat, penyampaian iman dan pastoral juga di saat kekurangan imam, telah membawa beberapa gembala dan awam ke dalam godaan melangkah lebih jauh daripada yang dibenarkan Gereja” (Instruction, no. 7). Maka diperlukan usaha untuk mengatasi bahaya klerikalisasi kaum awam dan sekularisasi kaum rohaniwan. Perlu dipahami dengan baik bahwa pastor paroki adalah pemimpin dan bukan seorang manager. Perlu diingat lagi penegasan Konsili Vatikan II, “Gereja tidak sungguh-sungguh didirikan, tidak hidup sepenuhnya, dan bukan tanda Kristus yang sempurna di tengah masyarakat, selama bersama hierarki tidak ada dan tidak berkarya kaum awam sejati. Sebab Injil tidak dapat meresapi sifat-perangai, kehidupan dan jerih payah suatu bangsa secara mendalam tanpa kehadiran aktif kaum awam. Oleh karena itu, sejak suatu Gereja didirikan perhatian amat besar harus diberikan kepada pembentukan kaum awam kristiani yang dewasa” (Ad Gentes, no. 21).
Kerasulan Tata Dunia
“Karena berperan-serta dalam tugas Kristus sebagai imam, Nabi dan Raja, kaum awam berperan aktif dalam kehidupan dan kegiatan Gereja” (Apostolicam Actuositatem, no. 9). Akan tetapi “ciri khas dan istimewa kaum awam yakni sifat keduniaannya” (LG, no. 31). Menurut Konsili Vatikan II, bidang kerasulan itu begitu luas meliputi : (i) Perkawinan dan keluarga, (ii) pengembangan kebudayaan, (iii) kehidupan sosial-ekonomi, (iv) hidup bernegara, (v) usaha demi perdamaian, dan (vi) pembentukan persekutuan bangsa-bangsa (Gaudium et Spes, Bab I-Bab 5; juga Apostolicam Actuositatem, no. 11-14). Paska Konsili Vatikan II diuraikan lebih lanjut dalam Christifedelis Laici: Martabat manusia (no. 37); Hormat terhadap hidup (no. 38); kebebasan beragama (no. 39); keluarga (no. 40); kasih, jiwa dan dasar solidaritas (no. 41); sosial-politik (no. 42); sosial-ekonomi (no. 43) dan sosial budaya (no. 44). Justru di dalam tata dunia, kaum awam melaksanakan peran-tugasnya, “entah sebagai perorangan, entah secara kolektif, atas nama mereka sendiri selaku warganegara, di bawah bimbingan suara hati kristiani” (GS, no. 76). Untuk memiliki suara hati yang tulus, hendaknya kaum awam akrab dan menimba inspirasi dari Kitab Suci, Ajaran Gereja, khususnya Ajaran Sosial Gereja. Terkesan banyak awam memang ahli dan profesional di bidang karyanya, namun masih lemah pendasarannya dalam hal etika dan moral kristiani. Banyak awam takut melawan arus karena tidak mau keluar dari “zona aman”, lebih memilih mengikuti arus, kendatipun arus yang diikuti berada pada jalur yang keliru.
Menghadapi situasi hidup berbangsa dan bernegara ke depan, sekurang-kurangnya dalam lima tahun ke depan, kita harus mendorong kaum awam kita untuk sungguh terlibat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mereka harus berprestasi dan menonjol di bidangnya, bukan hanya menjadi bagaikan garam, akan tetapi lebih sebagai pelita “supaya setiap semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya” (Luk 8:16). Dengan demikian kaderisasi menjadi penting, bahkan mendesak. Hendaknya kaum awam membaca tanda-tanda zaman (4) dewasa ini: fundamentalisme, radikalisme, narkoba, AIDS, korupsi. Tidak cukup kita berwacana terhadap masalah-masalah sosial tetapi yang lebih penting melaksanakan dan berkarya pada skala kecil di lingkungan kita sendiri, akan tetapi dalam perspektif yang lebih luas. Dalam bahasa Mother Teresa: “melakukan hal kecil tetapi dengan cinta yang besar!” Di bidang politik misalnya, diingatkan Paus Fransiskus, “Kita memiliki para politisi – dan bahkan para pemimpin agama – yang heran mengapa orang-orang tidak memahami dan mengikuti mereka, padahal usul-usul mereka begitu jelas dan logis. Barangkali itu karena mereka terpaku hanya pada dunia gagasan murni dan akhirnya mereduksi politik atau iman menjadi wacana belaka. Yang lain telah meninggalkan kesederhanaan dan mengimpor rasionalitas yang asing bagi kebanyakan orang” (Evangelii Gaudium, no. 232).
Jelaslah yang diperlukan agar para Uskup, Pastor Paroki “secara istimewa menaruh perhatian terhadap para awam dalam karya kerasulan mereka” (AA, no. 25).
Rekomendasi
- Menyelenggarakan kaderisasi khususnya di bidang sosial-kemasyarakatan dan sosial-ekonomi bekerjasama dengan Seksi atau Lembaga terkait di paroki.
- Memberikan motivasi dan mendayagunakan potensi kaum awam, termasuk kaum perempuan di paroki.
- Meningkatkan komunikasi dan koordinasi secara intensif baik di kalangan internal maupun eksternal Gereja.
- Menyebarluaskan paham-paham dasar kerasulan awam sehingga dapat menciptakan pengertian yang mendalam di lingkungan umat beriman.
- Meningkatkan komunikasi secara teratur dengan komunitas kategorial seperti OMK, mahasiswa, cendekiawan, kelompok profesi dan juga hierarki dan kaum religius sehingga kesadaran kerasulan awam semakin tertanam, khususnya kerasulan dalam aspek eksternal.
- Meningkatkan forum komunikasi antar-awam katolik yang aktif di dalam kemasyarakatan dan pemerintahan.
- Mengembangkan kesadaran perlunya kerasulan di bidang sosial kemasyarakatan dan sosial ekonomi, khususnya bagi kaum muda melalui pembinaan dan pendampingan, penataran, rekoleksi, dialog, dan pertemuan-pertemuan lainnya bekerjasama dengan seksi-seksi yang terkait.
- Membentuk umat katolik yang berkualitas dalam bidang sosial kemasyarakatan yang memiliki ciri-ciri sensus catholicus, intelektualitas, hormat terhadap hak-hak asasi manusia dan pluralisme masyarakat, prinsip perdamaian dan tanpa kekerasan. Untuk itu diperlukan kaderisasi yang konsepsional, sistematis, berkesinambungan, terpadu dalam jaringan relasi-relasi semua pihak terkait. Kaderisasi tidak hanya meningkatkan kemampuan dan wawasan, melainkan juga memperkuat ketahanan iman.
- Mengembangkan gagasan Konsili Vatikan II di bidang sosial ekonomi: “… dalam kehidupan ekonomi, martabat pribadi manusia, serta panggilannya seutuhnya, begitu pula kesejahteraan seluruh masyarakat, harus dihormati dan dikembangkan. Sebab manusialah yang menjadi pencipta, pusat dan tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi” (GS, no. 63).
- Mengatasi kesenjangan yang makin melebar yang sebagian bersumber pada ketidakadilan, kolusi, nepotisme, monopoli, dan korupsi yang merugikan kepentingan umum, terutama rakyat kecil. Akibat lain dari pertumbuhan ekonomi ini adalah materialisme, konsumarisme, dan hedonisme.
- Tantangan bahkan merupakan perang kita di dunia nyata sekarang, yakni: bahaya intoleran, radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Virus ini ternyata begitu berkembang melalui jaringan digital dan medsos yang melibatkan orang muda.
- Menanggapi tantangan-tantangan itu perlu dikembangkan spiritualitas dan etika bisnis yang bersumber pada Ajaran Sosial Gereja (bdk GS, no. 63). (5)
Demikianlah kerasulan awam dalam tata dunia bukanlah dimaksudkan sebagai “strategi dan taktik” untuk mengimbangi kekuatan-kekuatan lain di luar Gereja dalam masyarakat kita. Keterlibatan kaum awam dalam tata dunia tidak berarti ikut berlomba dengan kekuatan-kekuatan lain, akan tetapi keterlibatan itu merupakan perwujudan iman orang katolik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Jakarta, Kim Tae Gon, 1 Oktober 2022
Catatan Kaki
- Sarasehan Seksi HAAK, Forum RTRWLMK, Sabtu 01 Oktober 2022 di KTG Lama, Ruang Bawah, Paroki Paroki St. Yakobus, Jakarta Utara.
- Menurut cerita rakyat, misionaris Portugislah yang memberi nama pulau ‘flores’, ketika tiba di daerah itu dan mereka melihat batu karang yang begitu indah bagaikan bunga (flores). Nama pulau itu diabadikan sampai hari ini.
- Pater Frans van Lith adalah seorang imam Yesuit asal Oirschot, Belanda yang meletakkan dasar karya Gereja Katolik di Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Ia membaptis orang-orang Jawa pertama di Sedangsono, mendirikan sekolah guru yang dulu dikenal dengan R.K. Kweekschool di Muntilan, memperjuangkan status pendidikan orang Indonesia dalam masa pendudukan kolonial Belanda. Ketika Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Indonesia, saat ia menyampaikan homili dalam perayaan ekaristi yang dihadiri ratusan ribu umat katolik di Yogyakarta, 10 Oktober 1989, mengatakan bahwa hari itu ia berada di jantung Pulau Jawa untuk secara khusus mengenang mereka yang telah meletakkan dasar Gereja Katolik Indonesia, yaitu Pater Van Lith SJ, dan dua muridnya, Mgr. Soegijapranata dan I. J. Kasimo. Pater Van Lith tiba untuk pertama kalinya di Semarang tahun 1896 kemudian belajar budaya dan adat Jawa. Selesai pembekalan, ia ditempatkan di Muntulan sejak 1897. Pater van Lith menetap di Desa Semampir di pinggir Kali Lamat. Pada 14 Desember 1904, Van Lith membaptis 171 orang desa dari daerah Kalibawang di Sendangsono, Kulon Progo. Peristiwa ini dipandang sebagai hari lahirnya Gereja di antara orang Jawa (Indonesia).
- Kalau kita meminta bantuan Google, dan mengetik kata “tanda-tanda Zaman”, yang muncul adalah: akhir zaman, zaman akhir, kiamat, munculnya Imam Mahdi, datangnya Ratu Adil, hancurnya dunia, pengadilan terakhir, dan hal-hal yang berkaitan dengan kedatangan Tuhan di akhir zaman nanti. Kalau Konsili Vatikan bicara mengenai “tanda-tanda zaman” bukan dalam arti ini. Secara eksplisit ada 4 (empat) dokumen Konsili Vatikan II yang mencantumkan istilah (yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) “tanda-tanda zaman”, yakni, (i) Dekrit Apostolicam Actuositam, tentang Kerasulan Awam, no. 14 § 2, (ii) Dekrit Unitatis Redintegratio tentang Ekumenisme, no. 4, (iii) Dekrit Presbyterorum Ordinis tentang Kehidupan para imam, no. 9, (iv) Konstitusi Gaudiun et Spes tentang Gereja dalam Dunia Modern, no. 4. Bapa Konsili dan para teolog bila bicara mengenai “tanda-tanda zaman” mengacu pada Gaudium et Spes: “Untuk menunaikan tugas seperti itu, Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman (signa temporum) dan menafsirkannya dalam cahaya Injil. Demikianlah Gereja – dengan cara yang sesuai dengan setiap angkatan – akan dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan, yang di segala zaman diajukan oleh orang-orang tentang makna hidup sekarang dan di masa mendatang, serta hubungan timbal balik antara keduanya. Maka perlulah dikenal dan difahami dunia kediaman kita beserta harapan-harapan, aspirasi-aspirasi dan sifat-sifatnya yang sering dramatis“. Dalam konteks bahasa dan budaya katolik itu tanda-tanda zaman, diketik misalnya: signs of the times, les signes du temps, i segni dei tempi, maka akan keluar kata-kata yang artinya: (i) peka menangkap, (ii) pandai menafsirkan dalam terang Injil, (iii) mampu menjawab tantangannya di zaman sekarang, dan (iv) tekun mencari maknanya dalam hidup sehari-hari, (v) agar memahami harapan dunia ini. Menjadi jelas, tanda-tanda zaman yang dimaksud Konsili Vatikan II bukan kiamat di masa mendatang dengan segala kegemparannya. Yang dimaksud Konsili Vatikan II adalah “tanda-tanda zaman” itu hidup senyatanya setiap hari, di mana kita hidup, di mana kita masih berjuang bersama saudara-saudara kita. Dalam hal ini, perlu selalu bertanya: “Apakah kehadiran Gereja masih berarti bagi masyarakat bangsa di mana Gereja itu ada?”
- Lihat: Tarigan, J (ed). 1997. Kesepakatan Bersama Pertemuan Nasional Kerasulan Awam. Jakarta: Gramedia